Kamis, 18 Februari 2010

tentang sebuah cinta

TENTANG SEBUAH CINTA
Ia tidak pernah menduga akan ada seorang cowok yang mampu mengusik kalbunya meskipun cowok itu bukan apa-apanya, kecuali kenalan kakaknya yang sengaja dating ke rumah untuk mengambil kwitansi dan uang. Cowok itu berparas jantan tetapi suaranya yang lemah menunjukkan kelembutan hatinya. Jauh sekali dengan kebanyakan cowok yang suka berbicara lantang dan keras. Karena itu ia amat terpana memandangnya. Seolah- olah masuk suatu tenaga hipnotis dan terhenyak di dalamnya tanpa mampu menguasai diri dan hanyut di bawah pengaruh cowok itu.

Suatu kali, cowok itu pernah bilang bahwa ia mirip dengan ibunya. Ou, bagaimana mungkin ia yang berusia belasan tahun mirip dengan ibu cowok itu? Apakah dia sengaja memperoloknya dan dengan tidak langsung ingin mengatakan bahwa wajahnya sebetulnya nampak tua dan tidak menarik perhatian?
Ia gelisah. Ia bingung jadinya. Ya, bagaimana seharusnya menghadapi cowok itu agar dia tidak tersinggung dan persahabatannya dengan kakaknya tidak terganggu? Ah, Ida diam saja dan berusaha menunduk ketika cowok itu dengan matanya yang teduh mencari-cari bola matanya. Ida sungguh tidak mengerti makna apa yang tersirat dari semua kata-kata cowok itu. Dia seperti datang dari belahan bumi yang lain dan berusaha menancapkan pengaruhnya di kelembutan kalbu Ida.
Kamu tidak yakin aku berkata sungguh-sungguh?”
Ida menggeleng pelan. Ya, hanya pelan saja. Ida seakan kehilangan tenaga untuk membantah. Padahal sebelum ini, Ida selalu berani dan dengan gampang mengutarakn setiap pendapat dan perasaannya.
Ida sudah tingkat satu di Universitas. Teman-teman prianya di kampus tidak ada yang seperti cowok itu, yang dengan cepat mampu mempengaruhi orang dan berhasil menancapkan kukunya. Ah, apa sih profesinya?
Kamu satu kuliah dengan Praze, ya?” tanya Ida mencoba sisa-sisa keberaniannya.
Cowok itu mengangguk. Tetapi aku sendirian di kota ini,” katanya. Keluargaku terasa jauh dan aku merasa sepi sekali. Aku selalu mencari sahabat secepat kilat agar aku tidak terlalu lama didera kesendirian.”
Dari jawa?”
Sumatera, Aceh!
Oh, jauh sekali. Tidak pernah pulang?”
Teman-temanku banyak yang pergi ke Eropa dan Amerika untuk menuntut ilmu. Aku hanya di Indonesia, Jadi, tidak begitu jauh sebetulnya. Setiap akhir tahun aku pulang mudik seperti pulang mudiknya orang-orang di hari lebaran.
Tidak pernah merasa kangen?”
Itulah Ida, aku menemukan kamu di sini seperti menemukan inuku sendiri.” Diulanginya lagi kata-kata itu.
“Jadi, aku ini seperti ibu-ibu? Begitu maksudmu? Ida nyaris menangis mengatakan itu.
“Bukan, bukan begitu. Maafkan aku bila telah mengusikmu. Aku berkata sungguh-sungguh. Tatapi, baiklah, aku pamit dulu. Nanti praze lama menanti-nanti. Terimakasih atas semua waktumu meladeniku di rumah ini.” Dia pun bangkit tanpa menunggu jawaban Ida.


Ida terpaksa berdiri dan mengantarkannya sampai ke pintu gerbang. Setelah dia pergi, Ida cepat-cepat masuk kekamar dan berdiri di depan cermin. Pipinya yang mulus itu, ia sentuh dengan kedua tangannya. Juga lentik bulu mata dan keningnya yang indah. Kok dia bilang aku seperti ibunya? Wajahku tidak setua ibunya bukan? Ida merasa kheki dan gemas sekali. Mengapa aku tadi tidak bisa membela diri dan kemudian berbalik menyerangnya? Mengapa aku tadi diam saja?
Serta merta Ida bergegas menelepon Adi untuk minta tolong melenyapkan perasaannya yang resah. Adi teman sekampusnya dan sudah lama akrab dengannya. Sekarang ia akan meminta Adi segera dating.
Ada apa, nona? Jangan suka gelisah seperti itu,” kata Adi lewat telepon.
Pokoknya kamu harus datang. Pikiranku lagi kacau nih. Tolong deh ya!”
“Baiklah. Adi akan segera hadir.”
Telepon pun diletakkan dan Ida merasa lega sekali. Ia akan meminta pendapat
Adi untuk memeccahkan ucapan cowok teman kakaknya itu.
Ida seharusnya tidak perlu mengenal cowok itu bila Cuma akan menggangu hari- harinya. Siang tadi, dikampus, Adi begitu dingin kepadanya. Itu terjadi setelah Ida kemarin menceritakan omongan cowok teman kakaknya itu. Ida mengharapkan pendapat Adi, tapi justru sebaliknya yang terjadi. Adi berubah dingin kepadanya.
Aku hanya bertemu sekali dengannya. Kemudian dia sering menelepon. Aku tidak mungkin mengusirnya bukan? Kamu harus mengerti bahwa dia teman kakakku,” Katanya pada Adi.
“Cowok itu tentu tampan ya? Kau menyukainya?” Tanya Adi.
Ida membesarkan matanya memandang Adi. Ia tidak menduga kata-kata begitu akan diucapkan Adi. Ida menggeleng-geleng.
Adi mengangkat bahunya dan melemparkan pandangan jauh-jauh ke jalan yang memanjang. “Setidaknya kamu tertarik juga kepadanya…?
Tidak, tidak! Adi, kamu jangan berpikir sejauh itu. Sama sekali tidak begitu


kok!”


Kenapa hal itu mesti kau ceritakan kepadaku? Agar aku tahu bukan? Agar aku


tahu bahwa ada seorang cowok yang sedang mengusik hatimu kan?
Adi, kau jangan secepat itu menuduh. Apakah semudah itu untuk jatuh hati? Apalagi dia sahabat kakakku sendiri!
“Banyak kasus yang terjadi bahwa seorang gadis jatuh hati pada pandangan pertama. Itu bukan sesuatu yang aneh, Ida.”
Ida tertegun. Adi masih memandang jalanan daun-daun akasia bergoyang kencang diterpa angin. Ia seakan terjerat pada dua arus yang sama sekali tidak pernah diduganya. Adi jadi cepat cemburu. Padahal, dia sudah tingkat dua dan seharusnya bisa bersikap
lebih dewasa mendengar pengaduan Ida. Dan itulah anggapan Ida ketika ia memutuskan untuk mengadukan hal itu kepadanya. Tapi, kok jadi begini?
Ida menyesal jadinya telah menceritakan peristiwanya dengan sahabat kakaknya itu pada Adi. Toh cowok teman kakaknya itu bukan apa-apanya.
Ida jadi bimbang setelah pulang kuliah. Setiap telepon berdering, Ida jadi alergi. Dering telepon semakin menghantui, seakan-akan bunyi telepon adalah usaha cowok


teman kakaknya itu untuk menancapkan kukunya lebih dalam lagi di hati Ida. Karena itu, Ida tidak mau mengangkat telepon untuk beberapa hari lamanya. Akibat cowok itu hubungannya dengan Adi jadi dingin.
Dieng titip salam untukmu,” kata kakaknya ketika pulang kuliah sore itu.
“Cowok yang kakak suruh ke rumah itu? Siapa sih dia sebenarnya?”
Dieng mengambil jurusan Filsafat. Kamu harus tahu, Dieng baik dan selalu menjaga perasaan orang lain.” Praze, kakaknya, membuka sepatu. Lalu masuk ke kamar dan melemparkan tas di atas meja belajar.
Ida masih duduk di ruang tengah. Kalbunya seperti terusik kembali. Cowok itu, pikirnya, kirim salam sekarang. Melalui kakaknya lagi. Apakah kakaknya dan cowok itu sedang membentangkan jerat agar Ida masuk kedalamnya? Ke jaring mereka itu? Ida tahu, betapa sayangnya Praze kepadanya. Sejak di SMA dulu, ketika Ida kelas satu dan Praze kelas tiga, kakaknya itu selalu mencarikan teman cowok yang cocok untuknya. Ida pun tahu maksud Praze dengan semua itu, agar dia bisa mengontrol pergaulan Ida dengan cowok yang dekat dengannya. Dan bila Ida berteman akrab dengan cowok yang sudah dikenalnya, bukankah Praze tidak usah merasa kuatir lagi akan terjadi sesuatu terhadap Ida?
Tetapi Ida sekarang sudah jadi mahasiswi. Haruskah kakaknya berbuat seperti dulu? Mencarikan teman cowok untuknya? Ah, Praze, kamu tidak tahu bahwa aku sudah akrab dengan Adi.
Dieng agak lain ya, kak? Kakak kenal dia di mana sih?
Awal tahun lalu ketika diskusi di Aula. Dieng salah seorang penceramah dari jurusan Filsafat. Jalan pikirannya bagus dan menarik.”
Dan dia bilang aku seperti ibunya. Itukah yang kakak maksud bahwa dia tahu menjaga perasaan orang lain?”
Aaa.” Praze menggelengkan kepalanya. Dieng bilang kamu seperti ibunya? Hahaha…., Praze tergelak-gelak.
Kok ketawa? Kakak sedang mempermainkan Ida dan bersengkongkol dengan cowok itu ya? Ida nggak mau, Ida nggak mau begini!” Ida menangis dan menyembunyikan wajahnya di meja.
Ida, Ida. Kamu jangan tersinggung dong. Kakak yakin bahwa Dieng tidak bermaksud menghinamu> Dieng memang sukar diterka, kata-katanya selalu bersayap. Nanti akan kutanyakan apa maksudnya mengatakan hal itu kepadamu.” Praze membelai- belai rambut adiknya.
Angin pagi yang lemah memburai-buraikan rambutnya yang lebat. Kampus masih dingin habis diguyur hujan semalam. Ineke turun dari motornya dan mengejar gadis itu ke tangga masuk sebelah selatan.
Hei, Ida!” lengkingnya. Mana Adimu? Sudah dua hari dia tidak masuk.”
Ida menggeleng sambil menyelidik dengan sorot matanya yang khas: tajam dan memikat.
Kalian cekcok yaa?” Ineke mengiringinya menaiki tangga kampus menuju ke tingkat dua. Ida menggeleng. Ia tidak mau lagi mengadukan hal itu kepada siapapun. Ia akan menyimpannya sendiri persoalan itu. Ia khawatir, Ineke salah sangka lagi seperti Adi.


“Wajahmu nampak kalbu, Ida. Kenapa tidak ditepiskan saja bila ada kemuraman disana?”
Ineke mengerling lagi dan menyelidik dengan caranya yang khas. Mereka masuk ke ruangan. Ida duduk di bangkunya dan diam di sana, seperti tidak punya persoalan apa- apa. Ineke menarik nafas. Dan membiarkan gadis itu dalam kebungkamannya.
Ida berada dalam dua arus yang ia sendiri tidak tahu kemana arah kedua arus itu. Bagaimanapun Adi telah menggetarkan kalbunya. Tetapi Dieng, teman kakaknya itu bukan saja menggetarkan tetapi juga mengusik dan menggelisahkan hari-harinya. Apakah wajahnya tidak menarik lagi dan nampak tua sehingga dikatakan persis seperti ibunya? Ah, Ida benar-benar merasa khaki, bingung dan tersinggung.
Tersinggung? Bukankah Praze bilang ucapan-ucapan Dieng selalubersayap? Ah, ah. Lewat jendela ruangan di mana dia berada Ida memandang ke bawah, ke rumput- rumput halus dipekarangan kampus. Beberapa remaja melintas terburu-buru takut ketinggalan mata kuliah. Jeep kuning itu diparkir dan Adi turun lalu membukakan pintu untuk seorang gadis yang tidak dikenal Ida. Ah, Ida meyakinkan sekali lagi pemandangan yang dilihatnya. Tetapi cowok itu memang Adi….. bersama seorang gadis.
Adi…, bisiknya lirih pada diri sendiri. Begitu mudahnya dia beralih kepada gadis lain. Adakah semua ini gara-gara kehadiran Dieng? Tiba-tiba minat Ida untuk mengikuti kuliah jadi hilang. Ia segera meraih tas dan meluncur menuruni anak tangga. Lalu berjalan cepat-cepat menuju mobilnya. Kemudian pulang.
Di rumah, Praze sedang ngobrol bersama Dieng. Ida ingin menghindar dan berusaha masuk lewat pintu samping, tetapi kakaknya lebih dahulu mengetahui kedatangannya.
Hei, kok sudah pulang? Ngambek ya?
Ida melengos dan bersijingkat ke pintu samping. Praze mengejarnya dan menangkap pergelangan adiknya. “Dieng tak mau menceritakan mengapa kamu dikatakan mirip ibunya. Sini Da, kau Tanya sendiri. Mau kan?
Ida diam saja berusaha melepaskan diri. Nggak mau! Ida mau tidur!”
Dieng!” Praze memanggil cowok itu. Ampun! Ida mencubit pinggang Praze. Dan Dieng muncul di dekat mereka.
Oh….Ida!” Katanya.
Praze melepaskan tangan adiknya lalu menghindar lewat pintu samping.
Kamu nampak murung,” kata Dieng.
Ida diam saja. Dipermain-mainkannya tasnya.
Praze sudah bilang padaku,” kata Dieng lagi. “Sini aku ceritakan semuanya agar kamu mengerti.”
Seperti ada magnit yang membungkam mulut Ida. Tapi dia menurut saja ketika cowok itu mengajaknya duduk di teras depan.
Kamu sudah membuat semuanya jadi berantakan!” Kata Ida kemudian.
“Begini,” kata Dieng. Sebelumnya maafkan aku bila membuatmu tersinggung. Tapi, aku memang melihatmu seperti ibuku, Ida. Ini bukan sebuah sensasi, tetapi nyanyian hatiku sendiri yang lahir dari kerinduanku terhadap ibu.”
Ida mencoba memandang jauh lewat halaman rumah.
Pada usia 14 tahun ibu telah kehilangan ayahnya dan ia tumbuh menjadi remaja berkat bimbingan nenek. Aku bisa merasakan bagaimana beratnya perjuangan seorang gadis tanpa bimbingan seorang ayah. Lalu praze cerita padaku. Katanya, ketika kamu


masih duduk di kelas dua SMA, ayah kalian telah tiada. Aku mudah terguncang dan aku sangat terharu ketika melihat kamu pertama kali. Kau seperti ibuku yang hidup tanpa ayah di masa gadisnya. Lalu muncul keinginanku untuk melindungi dan menyayangimu seperti yang diperbuat Praze padamu. Nah, aku harap sekarang semuanya sudah jelas.”
Dieng menggenggam tangan Ida erat-erat, seakan ingin mengalirkan kehangatan untuk Ida. Ia merasa terharu. Ia teringat pada ayahnya yang telah tiada sementara Dieng ingat pada ibunya yang jauh dari pelupuk matanya.
Aku tidak menduga akan sejauh itu perhatianmu padaku,” kata Ida sambil merebahkan kepalanya di pundak Dieng. Dan sesungguhnya dia memang merasakan sesuatu yang lain terhadap cowok itu. Tapi bagaimana dengan Adi? Biarpun Adi telah beralih pada gadis lain, bukankah hubungan mereka secara resmi belum putus? Tapi, Adi sudah punya gadis yang baru!
Praze tersenyum dari ruang tengah melihat adiknya berpelukan dengan Dieng, sahabatnya. Praze seperti telah menghadiahkan sesuatu yang baik untuk adiknya itu. Praze yakin Ida akan menemui kebahagiaan jika berhubungan dengan Dieng. Dieng serius dalam hal ini. Ah, dalam segala hal dia serius. Dia tidak bisa berbohong dan punya tanggung jawab yang besar. Itulah yang membuat Praze menyukainya.
Sejak kematian ayah mereka, Praze secara lansung bertanggung jawab atas perkembangan adiknya. Dan ibu tahu, dia tidak akan salah memilih bila mengakrabkan Ida dengan Dieng.
Hari-harimu nampak ceria belakangan ini,” kata Praze suatu ketika pada Ida. Sejak berhubungan dengan Dieng, Ida memang kelihatan gembira.
Kakak juga gara-garanya. Benci deh!” balas Ida.
“Menyesal kuperkenalkan dengan Dieng?” goda Praze.
Pipi Ida memerah. Dan tiba-tiba bel pintu gerbang berdering.
Tuh, dia dating!” kata Praze lagi “Dieng-mu!”
Wajah Ida makin memerah. Saking malunya dia berlari ke dalam, tapi kemudian tampil lagi dengan lebih rapi menyambut kedatangan Dieng. Dan sekarang rasanya ia semakin paham akan arti sebuah percintaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar